Oleh : DR. KH. Abdul Halim Sholeh, MM
(Ketua Umum Yayasan Pesantren Jauharul Wathan)
Dalam konsep ukhuwah ini, umat Muslim diajarkan untuk memandang manusia lain dengan penuh kasih sayang, selalu melihat ia sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah fil ardhi. Manusia diturunkan ke dunia dalam rangka menghamba kepada Allah subhaanahu wata’aala dan atau mengemban tugas yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, yaitu sebagai khalifah dan sebagai hamba Allah.
Sebagai khalifah, manusia bertugas memakmurkan bumi, dan sebagai hamba, manusia mencerminkan makhluq yang taat secara total kepada Allah. Jadi manusia pada dasarnya merupakan hamba Allah yang diangkat sebagai khalifah-Nya di bumi, sedangkan pelaksanaan tugas kekhalifahan itu juga dalam rangka penghambaan terhadap-Nya.
مَعَا شِرَ الجَمَاعَةِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَ حِمَكُمُ اللهِ
Untuk menjalankan segala tugas kekhalifahannya, Allah membekali manusia dengan fitrah, yaitu fitrah yang diturunkan (فطرة مُنَزَّلَة) dan fitrah bawaan lahir (فطرة مُخَلَّقَة).
Fitrah yang diturunkan, adalah adalah firman-firman Allah yang disampaikan kepada para Rasul-Nya, sedangkan fitrah bawaan adalah berupa ruh yang didalamnya ada hawa nafsu dengan perangkatnya berupa hati dan indera sebagaimana diisyaratkan Allah melalui firman-Nya dalam al-Qur'an surat an-Nahl ayat 78 :
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: "Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur." (QS. An-Naḥl [16]:78)
Ayat diatas menunjukkan betapa lemahnya kita sebagai manusia selama sekitar 9 (sembilan) bulan dijaga oleh Allah didalam perut ibu kita, lalu dikeluarkan oleh Allah dalam keadaan tidak tahu apa-apa tidak punya pengetahuan baik masalah dunia maupun agama, tidak mengerti mana yang membahayakan, dan mana yang manfaat, tidak mengerti apa yang terjadi di sekeliling kita, selanjutnya Allah memberikan anugrah berupa pendengaran, penglihatan dan hati nurani agar manusia mensyukuri atas anugerah tersebut.
Manusia adalah makhluq istimewa, karena Allah masih terus memberikan anugerah kemerdekaan (rasa merdeka) untuk mengatur kehidupannya, dengan demikian manusia adalah subyek yang mempunyai kehendak. Disamping kelebihan yang dimiliki, manusia juga diingatkan akan kekurangannya sebagai makhluk yang berkemampuan terbatas, tapi tidak satupun ajaran islam yang menyuruh manusia untuk mengingat ingat keterbatasannya agar bisa membebaskan diri dari kewajiban berusaha. Justru keterbatasan itulah yang harus dijadikan sebagai titik tolak dari kewajiban ikhtiar, yaitu suatu rekayasa kreatif yang didasari dengan etika keagamaan.
Dalam pergulatan ikhtiar ini, manusia diperingatkan adanya ketentuan Allah bukan untuk mengendorkan usahanya, melainkan agar tidak putus asa ketika gagal dan agar tidak terjerumus kepada rasa puas yang menyesatkan. Ikhtiar (usaha) yang dilakukan dimaksudkan untuk memenuhi kewajibannya mengembangkan dua potensi, jasmaniyah dan rohaniyah, secara seimbang dan menyesuaikan diri kepada ketentuan-ketentuan Allah. Jasmani dan Rohani secara serentak berhadapan dengan kewajiban penghambaan kepada Allah dan kewajiban memelihara martabat dirinya sebagai makhluk yang dimuliakan-Nya.
۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ
Artinya: "Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." (QS. al-Isra’ /17: 70).
مَعَا شِرَ الجَمَاعَةِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَ حِمَكُمُ اللهِ
Di tengah alam semesta, manusia adalah makhluk penyalur rahmat dan berusaha mencegah terpotongnya jalur rahmat Allah atas alam semesta. Sehingga tidak ada manusia yang terhalang mendapatkan hak-hak dasar ini.
Sedangkan kasih sayang saling membantu dan berbuat baik kepada sesama manusia harus selalu kita pelihara dan kita tumbuh kembangkan yang istilah sekarang kita sebut Ukhuwah Basyariah. Jika kesadaran ini menjadi karakter setiap manusia, insya Allah tidak akan ada konflik di kalangan masyarakat baik lingkup kecil maupun besar. Konsep ukhuwah basyariyah didasarkan pada firman Allah pada surat al-Qur'an al-Hujarat ayat 13, yang berbunyi :
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti." (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 13)
Ayat di atas menunjukkan bahwa semua manusia yang ada di bumi merupakan satu keturunan dan bersaudara. Selain itu, ayat ini menegaskan bahwa semua umat manusia adalah makhluk Allah.
Ukhuwah basyariyah merupakan fondasi dari segala konsep persaudaraan sesama manusia dan wujud komitmen terhadap keislaman kita. Sebagaimana seruan Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya pada saat Haji Wada’ di tengah hari Tashriq dalam haditsnya :
عن جابر عبد الله ـ رضي الله عنه ـ قال: قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم: يَا أَيُّحَا النَّاسُ! إنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإنَّ أبَاكُمْ وَاحِدٌ، ألَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأحْمَرَ عَلَى أسْوَدَ، وَلَا لِأسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إلَّا بِا اتَّقْوَى إنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أتْقَاكُمْ، ألَا هَلْ بَلَّغْتُ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَلَ: فَيُبَلِّغُ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ أخرجه أبو نعيم والبيحقي
Artinya : “Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata bersabda Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wasallam: Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan ayah kalian juga satu. Sesungguhnya tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ‘ajam (bukan Arab), dan orang ‘ajam (bukan Arab) atas orang Arab, dan orang kulit merah atas orang kulit hitam, dan orang kulit hitam atas orang kulit merah. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian, Bukankah aku yang telah menyampaikan risalah? Mereka berkata: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Maka saksi yang tidak hadir harus menyampaikan risalah itu”.
Hadits diatas mengfokuskan pada satu hal penting yang harus diperhatikan oleh kita setiap muslim, yaitu: menghindari fanatisme yang berlebihan dan rasisme , bangga pada kehormatan keluarga, dan merendahkan nasab orang lain, karena semua itu merupakan kebiasaan masyarakat jahiliyah. Islam datang, menghapus kebiasaan tersebut dan memerintahkan berbuat adil untuk semua, berbuat baik antar sesama umat manusia.
مَعَا شِرَ الجَمَاعَةِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَ حِمَكُمُ اللهِ
Keadilan antar manusia adalah salah satu prinsip terbesar yang diagungkan Islam. Tidak ada seorang pun yang mempunyai keunggulan atas orang lain kecuali melalui takwa dan amal shaleh, taqwa diwujudkan dalam bentuk ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah subhanahu wata’aala, sedang amal shaleh diwujudkan dalam bentuk perbuatan baik antar sesama manusia yang kita kenal dengan istilah Ukhuwah Basyariyah.
Keanekaragaman dan perbedaan yang ada pada umat manusia baik dari aspek suku bangsa, etnis, bahasa, warna kulit, agama, dan lain lain, merupakan sunnatullah yang harus kita jaga dan hormati, tidak boleh dijadikan sebagai sumber masalah, sumber pertikaian, dan konflik, akan tetapi justru harus dijadikan sebagai sarana untuk saling mengenal kelebihan budaya, adat istiadat dan kekhususan masing-masing yang dapat dijadikan dasar membangun persaudaraan antar sesama manusia, praktek tersebut sudah diwujudkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallama yaitu keberhasilan beliau mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin. Selain itu, Rasulullah juga berhasil menyatukan umat Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan dengan dasar toleransi dan saling berbuat baik yang diwujudkan dalam Piagam Madinah.
مَعَا شِرَ الجَمَاعَةِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَ حِمَكُمُ اللهِ
Demikian Khuthbah disampaikan semoga Allah senantiasa menjaga persaudaraan kita sesama umat manusia, bisa hidup rukun, damai dan saling bersinergi saling menghormati antar sesama manusia dengan harapan dapat menjalani hidup yang diridhai Allah subhaanahu wata’aala.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: "Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (QS. al-An’am/6: 108).